JUJUR
adalah sifat terpuji. Secara naluri, semua orang suka kejujuran. Namun,
secara aplikasi, tidak semua orang bisa berlaku jujur. Orang yang
berbusa-busa menyuarakan kejujuran, belum tentu berperilaku jujur.
Kenapa? Karena jujur tidak cukup ditimbang dengan apa yang diucapkan di
lisan seseorang saja. Menyerukan kejujuran harus butuh bukti dalam
kehidupan nyata.
Selain itu, menjadikan jujur sebagai karakter yang mengakar di hati,
juga menjadi syarat akan kebenaran kejujuran seseorang. Belum bisa
disebut orang jujur, manakala tiga komponen ini, hati, lisan, dan
perbuatan, belum bersatu-padu dalam diri seseorang, atau dengan bahasa
lain masih parsial, dekotomi.
Terkadang ada orang yang jujur hatinya saja, namun lisannya belum
mampu mengucapkannya. Atau, lisannya yang mampu berkata jujur, tapi
perbuatannya belum bisa membenarkannya. Ada pula, sekedar perbuatannya
yang sepertinya melakukan kejujuran, tapi hati dan lisannya mengingkari
itu semua.
Tentu perilaku macam ini, yang memisahkan antar komponen tersebut
tidak dibenarkan dalam konsep kejujuran. Dan realitas di lapangan,
khususnya di negeri kita, justru mala praktek macam ini yang malah
menyeruak di tengah-tengah lapisan masyarakat, baik itu rakyat jelata,
atau pun para pemimpinnya. Mulai dari pengusaha, hingga
bawahan-bawahannya.
Sebagai contoh. Setiap para pejabat disumpah, mereka selalu berjanji
dangan sumpah dengan ditandai meletakkan kitab suci masing-masing di
atas kepala mereka. Apakah kemudian mereka juga jujur? Buktinya tidak
juga. Justru terkadang, di kemudian hari terbongkar tindak pidana
korupsinya.
Seorang pelajar (siswa/mahasiswa) yang hampir setiap saat dididik
untuk menjadi pribadi yang jujur, namun masih banyak juga ketika ujian
mereka menyontek.
Fenomena di atas setidaknya sebagai cermin, bahwa praktek kejujuran
belum seutuhnya teraplikasi dalam sebagian besar masyarakat kita dengan
benar. Sikap ini terjadi di semua lini di antara kita. Karyawan marketing memark-up kwitansi, sopir memark-up bensin,
petugas jalanan “mengutip” pungutan, jaksa, hakim dan petugas hukum
juga masih menerima suap. Bahkan orang antri ingin masuk PNS dengan
suap. Pegawai korupsi waktu. Semua lini selalu ada korupsi.
Padahal Rosulullah pernah mengatakan, “As-shidqu yahdii ila al-birri” (Kejujuran itu mengarahkan ke pada kebaikkan).
Kisah Abu Bakar
Dalam sejarah, terdapat salah satu sosok manusia yang mampu
menampilkan kejujuran yang benar, selain Nabi Muhammad Shalallaahu
'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) adalah Abu Bakr. Dia merupakan
sahabat yang pertama yang beriman ke pada Nabi dari golongan laki-laki
dewasa.
Kejujurannya telah teruji semenjak awal dia masuk Islam. Hal tersebut
terbukti -salah satunya- di tengah-tengah kaum Quraisy mengingkari dan
bahkan menghina Nabi dengan peristiwa Isra’ dan Mi’raj, Abu Bakr justru
menjadi orang pertama yang meyakini kebenaran hal tersebut.
Bahkan, dia berani menantang kaum kafir, bahwa kalau saja ada berita
yang lebih dahsyat dari peristiwa Isra’ dan Mi’raj, maka dia akan
mempercayai hal tersebut tanpa sedikitpun meragukannya.
Kejujuran Abu Bakr ini, kemudian terwujud dengan tindakan nyata. Dia
tidak pernah meragukan akan apa yang telah menjadi janji Allah dan
Rosul-Nya. Dan hal itu setidaknya tergambar dengan keberaniannya
menyerahkan kepada Nabi seluruh harta bendanya demi memperjuangkan
kejayaan Islam pada suatu peperangan.
“Aku tinggalkan mereka Allah dan Rosul-Nya”. Hanya kalimat singkat
ini lah yang terlontar dari lisan Abu Bakr, ketika Rosulullah bertanya
tentang apa yang dia sisakan untuk keluarganya, kalau semua kekayaannya
dia serahkan fii sabilillah.
Karena kejujurannya ini, yang telah menjadi gaya hidupnya, beliau pun mendapat julukan sebagai As-Shiddiq (orang
yang membenarkan). Tidak itu saja, jaminan ‘tiket’ masuk surga secara
langsung, pun telah beliau genggam dari Rosulullah. Allahu Akbar !!!.
Lain Abu Bakr, lain pula Abu Tholib. Beliau adalah orang jujur, yang
meyakini akan kebenaran ajaran Rosulullah. Selain itu, beliau pun
membuktikan akan kejujuran hatinya dengan tindakannya yang selalu
melindungi perjalanan dakwah Rosulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam
(صلى الله عليه و سلم). Sayang hanya karena kurang satu dimensi saja,
pengucapan (lisan), perilaku jujur itu pun ‘mandul’, tidak menghasilkan
apa-apa di sisi Allah. Dia pun akhirnya mati dalam kekafiran yang tempat
kembalinya adalah neraka.
Apa lagi dengan sosoknya Abu Lahab.
Secara naluri (Baca: hati) beliau mengakui akan kebenaran risalah Nabi
Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم). Namun,
karena lisannya dan tindakkannya berpaling dari keyakinan hatinya, maka
dia pun mati dalam keadaan kafir pula, dan tempat kembalinya adalah
neraka.
Dari sini kita bisa mengambil benang merah, bahwa seyogyanya kita
mengikuti jejak Abu Bakar dalam mempraktekkan kejujuran kita dalam
segala aspek kehidupan. kita harus meyakini bahwa sesuatu yang benar itu
adalah benar, tanpa diiringi keraduan sedikitpun. Dan suatu yang salah
itu adalah salah. Tidak cukup itu saja, tindakkan kita pun harus
menunjukkan hal tersebut, dan terakhir kita pun harus berani
mensuarakannya ke pada khalayak umum.
Sebaliknya, jangan sampai kita berperilaku jujur dengan kejujuran ala
Abu Thalib, lebih-lebih Abu Lahab. Sungguh perilaku macam ini sama
sekali tidak akan membawa keuntungan sedikit pun bagi kita di dunia
lebih-lebih di akhirat kelak. Kerana itu kita harus menjauhinya.
Pintu kemunafikan
Lawan
dari pada jujur adalah dusta. Dan sampai kapanpun dua hal ini tidak
akan pernah bersinergi. Barangsiapa yang berperilaku jujur, maka pasti
dia akan menjauhi sifat dusta. Begitu pula sebaliknya, barang siapa yang
suka berdusta, maka secara otomatis dia akan memusuhi kejujuran.
Karena demikian, tidak jarang orang yang berperilaku jujur harus
menghadapi resiko yang tidak kecil, terlebih jikalau dia hidup di tengah
masyarakat yang telah menjadikan dusta sebagai strategi ilegal dalam
meraih sesuatu, sebagaimana yang terjadi di negeri kita saat ini.
Sekali pun demikian, kita tidak boleh getir. Perinsip ‘Qul al-Haqqa wa lau kaana murran’ (katakan lah sebenarnya meskipun pahit), harus menjadi prinsip kita.
Biasanya, dusta atau kebohongan dilakukan seseorang untuk berbagai
tujuan; misalnya untuk memperoleh keuntungan materi secara tidak fair,
untuk membuat kesal atau mencelakakan orang lain, dan adakalanya untuk
menutupi kebohongan yang lain.
Implikasi dari kebohongan juga berbeda-beda. Jika kebohongan itu pada
hal yang bersifat informasi, implikasinya bisa menyesatkan atau
mencelakakan orang lain. Jika kebohongannya pada janji, maka
implikasinya pada mengecewakan atau merugikan orang lain. Jika
kebohongannya pada sumpah maka implikasinya pada merugikan dan
mencelakakan orang lain.
Nabi bersabda; “Sesunggguhnya kebohongan adalah satu di antara beberapa pintu kemunafikan, innal kizba babun min abwab an nifaq.”
Jadi orang yang melakukan kebohongan dan dusta berarti sedang berada
dalam proses menjadi seorang munafik. Kata Nabi, tanda-tanda orang
munafik itu ada tiga; (1) jika berkata, ia berdusta, (2) jika berjanji,
ia ingkar dan (3) jika diberi kepercayaan, ia berkhianat.
Jika kebohongan dan dusta merupakan pintu kemunafikan, maka kejujuran
merupakan pintu amanah. Sebagai contoh, Nabi memiliki sifat siddiq (benar dan jujur), maka sifat lain yang menyertainya adalah amanah (tanggungjawab), fathanah (cerdas) dan tabligh (menyampaikan secara terbuka apa yang mesti disampaikan).
Kebalikannya, dusta (kizib) akan diiringi oleh sifat curang (khiyanah), bodoh, yakni melakukan perbuatan bodoh (jahil) dan menyembunyikan apa yang semestinya disampaikan secara terbuka (kitman).
Rasulullah mengatakan, "Seorang mukmin memiliki tabiat atas segala sifat aib, kecuali khianat dan dusta." (HR. Al Baazaar)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas'ud r.a, dari Nabi Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) bersabda: "Hendaklah
kalian bersikap jujur karena kejujuran akan membawa kepada kebaikan dan
kebaikan dapat mengantarkan ke surga. Sesungguhnya seseorang senantiasa
jujur sehingga ditulis sebagai seorang yang jujur. Dan sesungguhnya
dusta dapat menyeret kepada kejahatan dan kejahatan dapat menyeret ke
dalam neraka. Sesungguhnya seseorang senantiasa berdusta hingga ditulis
di sisi Allah sebagai pendusta." (HR Bukhari [6094]). Mudah-mudahan kejujuran kita membawa ke surga yang dijanjikan.*
Sumber: Hidayatullah.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar